Tulisan dariku ini, mencoba mengabadikan
Mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang

Selasa, 12 Oktober 2010

Pengalaman baru di Pekanbaru

Kebetulan saya diterima jadi pegawai dengan status outsourcing di salah satu perusahaan di Bandung. Tapi kerjanya berlokasi di daerah Riau. Tepatnya di kota Duri, sekitar 3 jam perjalanan darat dari kota Pekanbaru. Setelah beberapa minggu saya disini, akhirnya kantor mengirim juga seorang rekan untuk bekerja bersama sebagai tim.  
Datanglah beberapa sms dan telepon dari rekan baru saya yang masih di Bandung ini. Intinya ingin mengenal kondisi daerah dan minta dijemput di bandara, karena katanya baru sekali ini pergi jauh. Saya mau tuntun dia saja, dan beri alamat lengkap rumah kontrakan, tapi katanya dia tidak berani. Dalam hati sih sempat terbersit kata-kata, 'lah, saya juga baru sekali ke sini, itu pun saya cuma berbekal alamat kontrakan yang baru saya mau cari'. Meski menggerutu sana-sini, curhat ke mama, curhat ke teman kerja yang ditempatkan di kota lain, tapi karena dasarnya saya gampang kasihan, apalagi memikirkan bagaimana perasaan keluarganya melihat dia luntang-lantung saya menyanggupi juga.


Maka sehari sebelumnya, saya memesan tempat di sebuah travel untuk perjalanan ke Pekanbaru, katanya berangkat jam 8. Berhubung teman saya bilang pesawatnya mendarat jam 12, jadi saya pikir pas lah waktunya. 3 jam perjalanan artinya saya di Pekanbaru tiba jam 11. Maka dengan pede saya bangun pagi-pagi keesokan harinya dengan perencanaan matang. Jam 6 beres-beres rumah dan masak, jam 7 mandi dan makan, lalu main game sambil nunggu jemputan. Tak disangka sebelum jam 7 travel tadi sudah menelepon menanyakan alamat. Ternyata mereka menjemput sejam sebelumnya. Paniklah saya, belum mandi, belum makan, belum main game. Dengan permohonan maaf sebesar-besarnya saya minta waktu 5 menit untuk mandi, setelah itu dengan rambut masih acak-acakan, saya cuma sempat melahap sebuah pisang dan keluar menyambut jemputan. 

Muncullah kekhawatiran saya setiap melakukan perjalanan jauh, yaitu bila tidak makan sebelum berangkat akan mabuk perjalanan. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya, malah perut saya mulai mulas dan memaksa mengeluarkan isinya. Karena saya sudah membuat sopir jemputan menunggu, saya merasa tidak enak untuk meminta berhenti sebentar agar saya bisa melakukan hajatan. Tentu lebih aneh lagi kalau saya minta mobil berhenti sebentar hanya untuk memungut tiga butir batu kecil. Walhasil, saya harus menahan perasaan itu selama 3 jam, dengan kondisi jalan yang tidak mulus dan membuat mobil terus terguncang. Saya cuma bisa memaksa memikirkan hal-hal menyenangkan agar perut tidak terus-menerus bekerja.


Penyakit saya yang lain saat di dalam mobil muncul, mengantuk. Entah kenapa setiap saya duduk dalam mobil lebih dari 20 menit maka kantuk akan menyerang dengan tanpa ampun. Hal yang selalu dikhawatirkan mama karena katanya bisa-bisa barang saya diambil penumpang lain atau dibawa sopir ke tempat lain terus dirampok. Meski begitu, saya benar-benar tidak bisa melawan serangan yang satu ini. Jadilah setiap dalam perjalanan, saya yang hobby melihat pemandangan sekitar harus menyerah tertidur selama minimal setengah jam. Tapi untuk kali ini, tidur malah bisa mengatasi masalah saya yang pertama. Setelah tertidur perasaan perut saya lebih bersahabat, meski ancaman itu masih terus mengintai.


Sampai di Pekanbaru saya minta diturunkan di Gramedia, seperti rencana saya sebelumnya. Selain ingin mencari komik DHD yang baru terbit dan juga majalah IU Indonesia, saya juga bermaksud meminjam toilet. Tanpa sengaja, dalam perjalanan ke Gramedia, saya sempat melihat ada mesjid di seberang jalan. Jadilah saya memutuskan mengubah rencana. Setelah menemukan komik dan majalah yang saya cari, saya bisa ke mesjid sekaligus sholat dhuhur. Perut saya juga lebih tenang setelah melewati pintu Gramedia, jadilah dengan tenang saya mencari dua item tadi. 

Tak lama kawan saya yang mau dijemput itu mengirimkan sms, katanya pesawatnya delay selama 2 jam. Saya jadi harus menyusun rencana baru, untuk mengisi waktu daripada bengong di bandara. Saya putuskan ke bioskop setelah sholat dan makan. Maka saya keluar dari toko buku dan menuju ke mesjid. Dalam selang itu saya kembali merasa sangat beruntung, di belakang masjid ada warung nasi. Jadi saya tidak perlu lama-lama menahan lapar sambil celingukan mencari warung. Setelah semua aktifitas di mesjid saya langsung menuju ke warung makan dengan harapan selain makan, saya juga bisa menanyakan letak bioskop di kota ini.


Menurut penjaga warung, bioskop bisa dicapai dengan sekali naik busway, Trans Metro Pekanbaru (TMP). Saya makin bersemangat sambil terus membayangkan mau memilih film apa untuk ditonton. Sehabis makan saya segera ke halte TMP terdekat dan, masih berkeringat karena makan dan udara panas, saya menanyakan rute ke Kakak Penjaga Halte. Kalau di daerah Jawa mungkin panggilannya Mbak, tapi di daerah Riau dan Sumatera Utara ini, untuk kesopanan, perempuan biasanya dipanggil Kakak. 

Penjelasan dari Kakak itu meruntuhkan semangat saya. Katanya untuk mencapai bioskop tidak bisa dengan TMP karena tidak ada jalurnya ke sana. Paling dengan menggunakan angkot, atau oplet untuk daerah sini. Itupun mesti dua kali ganti jalur. Saat itu sudah tengah hari jadi matahari lagi semangat-semangatnya berpijar, membuat saya jadi malas dengan memikirkan bahwa mondar-mandir dengan oplet akan membuat saya cepat lapar lagi. Hubungannya? Entahlah, saya juga tidak memikirkan itu. Akhirnya dengan terpaksa saya membeli tiket TMP yang menuju ke bandara. Bayangan bengong di bandara menjadi lebih nyata.


Waktu itu hanya saya seorang yang naik dari halte itu, dan kebetulan hanya ada satu kursi kosong dalam bis. Saya langsung duduk di sana. Tak lama kemudian bus berhenti lagi di halte berikutnya, beberapa orang naik, yang rata-rata adalah ibu-ibu yang sepertinya dari pasar. Seorang ibu berdiri di depan saya sambil menggendong anaknya. Tentu saya harus menyerahkan kursi saya. Apa kata dunia saat seorang ibu kerepotan harus menggendong anak berdiri di depan seorang pemuda yang duduk dan masih sehat jasmani rohaninya? 

Bus kembali berjalan. Dan tak lama kemudian berhenti lagi di halte berikutnya. Di sini penumpang yang turun agak banyak, jadi ibu-ibu lain yang masih berdiri tadi langsung dapat tempat duduk, sementara saya masih berdiri. Tiba-tiba ada panggilan dari belakang, katanya ada satu kursi kosong lagi. Saya menoleh dengan bersemangat, tapi sekelebat bayangan lewat di depan saya dan langsung duduk disana. Oalah, ternyata ibu itu memanggil anaknya yang juga tadinya berdiri di depan saya. Saya pikir buat saya. Jadilah saya harus tetap berdiri sampai di halte dekat bandara.


Sesampai di sana, di belakang saya turun seorang bapak dan putrinya yang masih remaja. Bapak itu langsung menanyakan alamat kantor SAR, karena katanya putrinya akan mengikuti test disana. 'Wah, saya juga bukan orang sini, Pak', kata saya dalam hati. Tapi karena saya dasarnya sok tau, saya tunjukin saja alamat kantor SAR yang ada di depan bandara. Memang saya sempat melihat ada kantor SAR disana. Tapi sepertinya bapak itu belum yakin, jadi dia memutuskan mencari  sumber lain yang terpercaya. Saya cuma bisa mengangkat bahu dan memanggil ojek untuk masuk bandara. Di motor, saya iseng bertanya ke tukang ojeknya, 'Bang, kantor SAR dimana?'. Ternyata kata Abang itu, kantor SAR juga ada di dalam bandara, sementara yang saya tunjukkan tadi adalah yang lebih jauh dari bandara. Waduh, maafkan saya Pak, saya juga orang baru.


Selama dua jam menunggu di bandara saya cuma bisa membaca majalah yang saya beli. Mau bicara sama bagian informasi, tidak ada alasan untuk bahan obrolan, mau bicara sama supir taksi, nanti malah dipaksa naik ke taksinya dikira penumpang, mau bicara sama sesama penjemput, takutnya dikira mau menghipnotis.  Jadilah saya membolak-balik majalah selama 2 jam sambil sekali-kali melirik bila ada gadis yang lewat.


Sorenya, teman saya itu tiba juga. Saya langsung memesan tempat lagi di travel untuk pulang ke Duri. Saya pernah dengar istilah travel gelap bandara, saya curiga yang saya pakai ini salah satunya. Tapi saya tidak sempat lagi memikirkan itu atau juga menarik kesimpulan pasti. Karena jiwa saya sudah terpanggang matahari Pekanbaru dan juga termakan rasa bosan menunggu. Setelah 20 menit dalam perjalanan pulang, seperti biasa, saya langsung tertidur dengan suksesnya. Sementara kawan saya yang mungkin ingin dijelaskan mengenai daerah sini saya biarkan dulu. Maaf kawan, sudah kewajiban saya untuk tidur dulu. :)

0 komentar:

Posting Komentar

My 99designs Folio

Check out 99designs for Logo Design