Tulisan dariku ini, mencoba mengabadikan
Mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang

Rabu, 12 Desember 2012

solo run vs team player

Solo run dan team player, sebuah tema yang saya pilih untuk memulai menulis lagi. Solo run dan team player ini adalah pikiran yang terus mengganggu dan itu saya rasakan sejak SMA entah kelas berapa. Saya dilema (cailah..) karena adanya pertentangan dua sifat ini.
Solo run, bukan berarti lari ke solo kemudian ke pantai, kemudian memecahkan gelas. Istilah ini saya dapat dari kegemaran menyimak sepak bola, solo run adalah istilah yang diberikan untuk aksi seorang pemain bola menggiring bola sendiri menembus pertahanan lawan. Saya kurang tau apakah istilah ini juga berlaku di basket, tapi yang pasti tidak berlaku di badminton haha..

Sementara team player, sepertinya juga saya dapat dari sepakbola hehe, cuma kurang yakin itu saya dapat langsung atau saya simpulkan sendiri. Saya dapat langsung artinya istilah itu sudah ada sebelumnya yang saya dengar atau baca, seperti solo run, supersub, banana kick. Team player adalah orang yang bisa bekerja sama dengan tim dengan sangat baik, dia selalu mementingkan tim diatas pencapaian pribadi.

Nah, dua istilah ini kemudian sering saya coba praktekkan dalam kehidupan sehari-hari (ppkn banget..). Hanya pada dasarnya, setidaknya sampai sekarang, saya lebih ingin bersifat team player daripada orang yang sering solo run. Dan pada kenyataannya, setidaknya juga sampai saat ini, saya malah cenderung melakukan solo run daripada bersifat team player.

Dimulai dari kehidupan sekolah putih merah. Saya bersyukur dibesarkan di lingkungan pendidikan yang baik, kedua orang tua, om dan tante, bahkan kakek saya berprofesi sebagai guru. Dan yang membuatnya lebih baik adalah atmosfir pendidikan saat itu sangat luar biasa jika dibandingkan dengan sekarang ini. Pada saat itu saya memang dididik bahwa yang berilmu yang hebat. Pencapaian itu bukan hanya ditentukan pada saat akhir caturwulan (belum semester-semesteran waktu itu), tapi juga seringnya diadakan lomba antar sekolah dimana saya sering mewakili sekolah untuk bidang-bidang keilmuan (tiba-tiba ngetik sambil membusungkan dada).
Disinilah dilema pertama saya terkait solo run dan team player. Sejak jaman SD saya selalu diikutkan pada lomba yang bersifat individual, entah itu lomba berhitung, lomba menulis, lomba pengetahuan umum, tapi tidak lomba nyanyi karena sampai sekarang saya tidak pede nyanyi depan umum hahaha. Bukan berarti sekolah tidak ikut pada kegiatan yang bersifat grup, seingatku waktu itu ada pertandingan kasti tiap tahun tapi saya tidak pernah terpilih masuk tim, demikian juga pertandingan-pertandingan olahraga tradisional lainnya, saya selalu jadi penonton. Pikirku, lomba berhitung, menulis dan sebagainya kurang greget, lombanya dalam kelas tertutup, tidak ada penonton kecuali juri bermuka sangar, pesertanya cuma dieemmm aja sampai waktu selesai. Where is the fun?? Sementara kasti, enggo' (gobak sodor kalau diindonesiakan) dan yang main di lapangan bisa lebih semangat dengan sorak sorai penonton dan intensitas pertandingan yang terus memuncak. Lagi pula, bukankah anak cewek lebih suka cowok bersimbah keringat dalam lapangan? (cant believe i thought like that at my early 12 hahahahha)
Kemudian maju ke masa putih biru, tidak banyak ajang pembuktian disini. Yah, paling saat pembagian buku rapor, dan itu pencapaian individual juga kan. Dan tetap saja untuk kegiatan grup saya tidak diikutkan. Ada kegiatan palang merah, tapi bukan lomba jadi tidak bisa ditarik parameter saya berhasil jadi team player atau tidak. Oh ya, ada acara tahunan yang menjadi persaingan tersendiri segelintir SMP yang ada di kecamatan kami (waktu itu cuma ada 3 atau 4 SMP). Saya lupa kegiatan tersebut setiap Hari Pendidikan atau 17 Agustusan. Saya pernah diikutkan pada lomba baris-berbaris (tetep aj kurang maho,..eh, macho) dan.. tidak pernah juara ckckck. Ada juga pekan olahraga di sekolah kami tiap tahunnya, yang jadi gengsi utama waktu itu adalah bola tangan dan saya masuk tim!! Tapi tetap saja tidak pernah dimainkan sampai kemudian kelas kami kalah jauh sebelum final...

Pernah membandingkan seorang peraih medali emas Olimpiade Fisika tingkat dunia dengan pemain timnas sepakbola yang bahkan juara Asia Tenggara pun tidak pernah bisa? Itu perasaan saya di masa putih abu-abu. Saya pernah maju ke lomba antar siswa tingkat nasional, waktu itu euforianya sungguh luar biasa, tetapi itu tadi. Lombanya dalam ruang tertutup, tidak ada yel-yel penonton. Euforia cuma terjadi setelah pengumuman hasil lomba keluar, dan setelah itu, sudah, lewat, tak ada gaungnya lagi. Seperti juara Olimpiade Fisika dunia tadi, diberitakan dengan bangga, setelah itu sudah, semua berpaling ke pemain bola yang bahkan juara Asia Tenggara pun tidak bisa. Ini bukan saya maunya prestatsi tadi dielu-elukan terus, sekali lagi ini cuma gambaran perasaan saya waktu itu dimana saya kembali berhasil melakukan solo run tetapi tidak pernah bisa jadi team player.
Saya pernah mewakili sekolah dalam pertandingan sepak takraw tingkat kabupaten dan peringkat 3, hebat kan? Cuma waktu itu memang hanya ada 3 sekolah yang turut serta hahahaha... Mungkin itu pencapaian terbaik saya sebagai team player. Dan saya tetap bangga dengan itu hahahaha...
Di sekolah juga pernah diadakan semacam lomba cerdas cermat antar kelas, tiap kelas diwakili 3 orang jadi boleh dibilang ini kesempatan untuk jadi team player. Tapi saya gagal di tahun pertama, dan baru berhasil juara di tahun berikutnya ketika bergabung dengan tim juara bertahan. Membanggakan? Agak kurang... Pernah juga ikut lomba debat dan cerdas cermat bahasa inggris, keduanya gagal total, salah satunya karena saya dinilai terlalu egois (tidak perlu disebutkan siapa yang menilai hehehe, i respect her)
Porseni antar kelas? Meh, saya juara Lomba Shalat Berjamaah!! hahahaha... basket, volley dan bulutangkis tidak ada yang menyebut nama saya saat pemilihan anggota tim. Saya mewakili kelas dalam lomba lari marathon dan hasilnya tidak terlalu buruk, tapi itu individual juga kan. Pernah juga ada pertandingan bola antar kelas, nah kalau yang ini saya dimasukkan dalam tim, sebagai striker pula, betapa bangganya waktu itu. Seingatku saya bikin beberapa gol dalam pertandingan persahabatan, dan bisa kena tiang dua kali. Bikin gol aja susah apalagi kena tiang, ya kan? hahaha.. Tapi di pertandingan resmi kita langsung kalah di penyisihan pertama lewat adu penalti, sedihnya, saya penendang terakhir yang tidak sempat menendang karena sudah dua orang gagal sebelumnya hahaha... tapi itu salah satu momen membanggakan dalam pencarian jiwa team player saya hehe..

Di masa kuliah tidak banyak yang terjadi, saya menjadi yang terbaik dalam satu hal tapi itu juga individual. Saya masuk tim futsal dalam beberapa turnamen dalam dua tahun berturut-turut kalah di penyisihan. Di tahun ketiga baru tim kami bisa dapat peringkat empat, tapi saya bukan pemain disitu, official haha. Dalam tim saya selalu ditempatkan di tengah, jadi saya bisa memaknai posisi tersebut sebagai kesempatan untuk jadi team player yang kerjanya umpan sana-sini.
Terakhir pencapaian yang saya dapat adalah peringkat empat turnamen futsal di kantor terakhir sebelum keluar. Posisi saya sebagai kiper dan bisa bikin satu gol, dan perebutan tempat ketiga itu sudah seperti final, ketatnya kayak kolor kalau istilah orang sekarang hahaha....

Jadi solo run atau team player? Sejauh ini saya merasa lebih banyak mendapat pencapaian dengan solo run ketimbang bermain sebagai team player. Dan pemikiran ini lumayan membebani, karena saya takutkan disaat saya memaksakan menjadi team player malah menutup kesempatan yang lebih besar jika saya solo run.
Saat ini saya berusaha meresapi peran sebagai team player dengan memberi bantuan pada teman-teman di sekitar saya karena saya pikir dengan itu saya bisa masuk dalam tim sosial mereka dan memberikan manfaat baik bagi saya sendiri maupun teman-teman saya. Tapi pencarian itu akan terus berlanjut, apakah pencapaian berikutnya dari solo run? Atau team player?

0 komentar:

Posting Komentar

My 99designs Folio

Check out 99designs for Logo Design