Tulisan dariku ini, mencoba mengabadikan
Mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang

Sabtu, 22 Juni 2013

Sebuah Perjalanan

ransel dan sandal jepit, cukup
Ketika teman-teman mengajak saya ke Lombok, Medan, dan Malaysia, dalam hati saya sangat tertarik untuk ikut serta. Tetapi satu hal yang membuat saya kurang yakin adalah mereka merencanakan perjalanan itu jauh-jauh hari sebelumnya, ada sekitar 6 bulan sebelumnya. Saya sangat tidak cocok dengan perjalanan seperti itu, karena tidak pernah yakin apa yang akan terjadi sebulan kedepan, 6 bulan atau setahun kedepan. Satu-satunya cara saya untuk merencanakan perjalanan untuk waktu yang masih lama adalah 'nanti saya harus pergi', tanpa menyebutkan tujuan atau tanggal pastinya. Maka saya pun menolak ajakan teman-teman tadi karena selain berencana mereka juga sudah memesan tiket perjalanannya, bahkan mau ngapain aja disana dan berapa lama waktu untuk satu acara sudah direncanakan semua.

Terakhir saya mencoba mengiyakan ajakan ke Karimun Jawa, mereka membuat itienary dari 4 bulan sebelumnya. Itu pun saya mengiyakan dengan kurang yakin tapi mencoba meyakin-yakinkan diri. Akhirnya sekitar 2 minggu sebelum tanggal keberangkatan, saya diterima di tempat kerja baru dan otomatis tidak bisa langsung minta ijin atau bolos sekalipun. Nah kan..

Pada suatu hari yang cerah di pelataran parkir Masjid Istiqlal, saya makan siang bersama Abang yang baru saja saya antar ke kantor pusat suatu departemen tempatnya bekerja. Urusannya sudah selesai sehingga si Abang merencanakan untuk pulang kembali ke kotanya. Tanpa dinyana muncul ide menyusuri pulau Jawa sampai ke Surabaya sebelum terbang ke Sulawesi, karena Abang masih ada ijin dari kantornya selama beberapa hari dan saya pun sedang masa kosong (maksudnya karena kerja shift-shiftan jadi ada waktu senggang). Maka diputuskanlah hari itu kita akan ke beberapa kota di pulau Jawa, masalah penginapan dan transportasi antar kotanya itu masalah nanti, sedapatnya saja haha.. Petualangan kecil pun dimulai, tanpa intienary yang detail, tanpa rencana pasti.

Jakarta
Pulang dari Masjid Istiqlal tadi sekitar jam 2 siang, Abang saya minta diantar ke tempat wisata yang jaraknya tidak terlalu jauh dan juga tempat beli oleh-oleh. Jadilah pertama saya ajak ke Pasar Tanah Abang yang katanya pusat grosir. Kalau kita kesana, dengan mudah dijumpai orang-orang dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri. Katanya sih harganya murah-murah. Dari Istiqlal kami naik bajaj dengan ongkos Rp 25.000, entah kemahalan entah normal, yang jelas kalau naik ojek atau taksi bisa lebih mahal dari itu, mau naik kopaja saya tidak hapal jalur trayeknya.
Museum Sejarah Jakarta
Setelah itu kami menuju ke Kota Tua, akses kesana cukup gampang, dengan menggunakan Trans Jakarta. Dari Pasar Tanah Abang ke halte Trans Jakarta paling dekat yaitu di jalan MH Thamrin, sekitar 300 meter. Tapi karena melihat jalanan yang macet Abang saya mau saja diajak jalan sejauh itu hehe.. Dengan ongkos Rp 3500 per orang bisa menikmati Trans yang cukup nyaman apalagi karena hari itu hari kerja sehingga tidak terlalu ramai. Setelah sekitar 10 menit kita sampai di halte terakhir yaitu Kota. Sebenarnya disini pun sudah merupakan tempat yang potensial untuk jadi tempat wisata, di sebelah kanan halte ada Stasiun Kota yang legendaris, sementara di sebelah kirinya ada Museum Bank Mandiri dan Museum Bank Indonesia. Cuma karena sekitarnya agak semrawut dengan adanya pengemis, pedagang kaki lima dan lalu lintas yang buruk tentu membuat kurang betah.
Jalan kaki sekitar 5 menit ke utara maka kami sampai di Taman Fatahillah, yang jadi pusatnya Kota Tua. Disitu ada pelataran luas tempat orang bisa santai foto-foto, juga ada hiburan dari seniman-seniman jalanan seperti patung-patungan dan boneka-boneka yang joged dangdut. Karena kami sampai disitu sudah agak sore, museum besar yang ada disitu sudah tutup. Namanya Museum Sejarah Jakarta, didalamnya banyak barang-barang peninggalan zaman kolonial seperti lukisan, senjata dan meriam besar (saya lupa namanya meriam Si Jampang apa lain lagi ya). Sebelumnya saya sudah pernah kesini, tapi di sebelah Museum Sejarah Jakarta ada beberapa museum lagi seperti Museum Wayang yang belum pernah saya masuki dan pada saat itu juga sudah tutup. Disitu jaga ada tempat penyewaan sepeda ontel yang bisa dipakai di sekitar taman, ada juga yang menyediakan ojek sepeda ke Pelabuhan Sunda Kelapa.
Untuk menghindari macetnya jalanan jam pulang kantor, kami pulang sebelum jam 5. Tapi untuk merasakan feelnya Jakarta, Abang saya sempat membeli jajanan kerak telor hehe.. Tukang kerak telor ini ada di koridor antara Museum Bank Indonesia dan Taman Fatahillah, selain itu ada juga tukang lukis, tatto, dan penyewaan properti untuk foto dengan suasana Jakarta jaman dulu.

Bandung
cari tiket

Keesokan harinya kami berangkat pagi ke Bandung. Karena Abang saya bilang sudah sering naik kereta Bandung - Jakarta maka kami memutuskan naik mobil travel biar bisa lewat di jalan tol hehe.. Ongkos travel Rp 50.000 perorang. Sebenarnya ada pilihan lain yaitu naik bis, cuma jarak terminal dari kost lumayan jauh (dan saya tidak paham arahnya hehehe). Perjalanan sekitar 3 jam, tidak banyak yang bisa dilihat sih, namanya juga lewat tol, palingan pas masuk area Padalarang yang berbukit-bukit jadi ada pemandangan bagus atau kalau beruntung bisa lihat kereta api yang jalurnya beberapa kali bersampingan dengan jalan tol.
Sampai di Bandung kami diturunkan ke pool travel di dekat Islamic Centre, rencananya di Bandung hanya sampai siang saja karena kami mau lanjut dan menginap di Sumedang, di tempat kenalan Abang saya. Hanya saja setelah tanya sana-sini dan cek peta ternyata jalur ke Sumedang itu sedikit menyimpang jika kita ingin lanjut lagi ke Jogja, rencana kami berikutnya. Dengan pertimbangan nantinya banyak waktu terbuang maka rencana Sumedang dicancel sehingga kami segera ke stasiun untuk cari tiket kereta ke Jogja. Dari Islamic Center ke Stasiun Bandung bisa ditempuh dengan naik angkot sekitar 20 menit, ongkosnya Rp 3000. Naik angkot di Bandung harus bersabar karena sopirnya keseringan ngetem di ujung gang, semacam ngetem addicted mungkin. Jadi kalau dilihat ada orang yang jalan dari dalam ujung gang, tidak peduli seberapa jauhnya orang itu, tetap akan ditunggu hanya untuk ditanya mau kemana. Kalau orang pertama tadi ternyata tidak naik ke angkotnya sementara di kejauhan ada orang lagi, maka ditunggu lagi. Apabila tidak buru-buru, maka hal ini tentu bisa dimanfaatkan untuk menikmati kota Bandung, kan banyak pemandangan indah hehehe...
Di stasiun, jadwal keberangkatan ke Jogja paling cepat jam 4 sore dan ada kelas ekonominya seharga Rp 175.000. Kalau tidak salah namanya KA Argo Wilis, sebenarnya jurusan Bandung - Malang. Di stasiun ada dua antrian, tiket pembelian langsung dan tiket pemesanan. Kami mau membeli tiket langsung karena antriannya lebih pendek, tapi ternyata itu hanya bisa untuk 2 jam sebelum keberangkatan, sementara waktu itu masih sekitar jam 12 siang. Jadi Abang saya mengajak ke Pasar Baru untuk beli oleh-oleh lagi, khas Bandung. Ternyata Pasar Baru letaknya di belakang stasiun, padahal saya sudah sempat bingung mau cari info trayek angkot yang lewat sana. Jadilah kami hanya berjalan kaki sekitar 5 menit, melewati tangga untuk menyeberang rel. Pasar Baru ini hampir sama dengan Pasar Tanah Abang, semacam pusat grosir juga, di sekitarnya banyak penjual makanan ringan khas Bandung, seperti kerupuk, dodol, dan rempeyek.

Jogja
Kebijakan baru PT KAI sangat terasa di kereta yang kami tumpangi, tidak ada lagi tiket berdiri sehingga setiap penumpang tidak perlu berebutan tempat duduk. Selain itu kipas angin besar yang dulunya ada dua di setiap gerbong digantikan dengan air conditioner. Hanya saja tidak boleh lagi pedagang asongan untuk masuk ke gerbong, sehingga bila mau jajan menunggu yang disediakan kereta atau menunggu kereta berhenti di beberapa stasiun. Rata-rata penumpang hari itu adalah orang Jawa, sehingga pada awalnya menyapa kami dengan bahasa jawa pula, ketika tau kami orang Sulawesi mereka langsung menarik kesimpulan sendiri. "Jalan-jalan ya? Bagus itu, mumpung liburan sekolah, menunggu pendaftaran kuliah dibuka, lebih baik jalan-jalan". Tapi ada juga satu orang spesial yang kami jumpai, dia orang Bugis, tapi dibesarkan di Papua, kuliah di Bandung, namanya Akbar tapi dia Nasrani. Orangnya ramah dan enak diajak ngobrol. Ketika ditanya bahasa papua dia cuma jawab, "jangan tanya saya bahasa papua karena saya tidak bisa, jangan juga tanya bahasa bugis saya juga tidak bisa, tapi kalau tanya saya bahasa indonesia pasti saya bisa, karena saya orang Indonesia," dengan logat timur yang khas.
Stasiun Tugu
Kami sempat bingung memikirkan tempat menginap di Jogja nantinya. Teman-teman saya yang orang Jogja semua sedang di Jakarta karena bukan waktu libur, sementara keluarga Om yang istrinya orang Jogja juga kami tidak enak kesana karena kurang kenal, sementara Om dan istrinya sedang tidak disana. Kami berusaha mencari penginapan murah lewat internet, ketemu daerah Sosrowijayaan yang katanya kampung backpaker di Jogja. Dari beberapa list penginapan yang ada kami memutuskan menelpon salah satu untuk memesan kamar, ternyata tidak ada sistem booking, kami diharuskan sampai disana dulu baru bisa memesan kamar. Tak lama, salah seorang teman Abang memberi usul agar menginap di Asrama Mahasiswa Wajo saja. Di Jogja memang ada disediakan asrama untuk mahasiswa dari daerah kami yang kuliah disana. Katanya asrama ini biasanya dihuni mahasiswa baru sambil mengenal kota Jogja, setelah beberapa semester dan jadi mahasiswa tingkat atas kemudian mencari kost sendiri memberi ruang ke mahasiswa baru lagi. Teman Abang saya dulunya juga tinggal disana sehingga masih kenal pengurus yang sekarang, jadilah mereka yang dimintai tolong menjemput kami di Stasiun Jogja.
Di Jogja kami hanya sempat ke Pasar Beringharjo, dengan meminjam motor penghuni asrama. Ternyata Pasar Beringharjo terbagi dua, bagian depan dari arah Malioboro khusus untuk pedagang segala macam batik, sementara bagian belakang adalah pasar tradisional. Setelah itu kami ke tempat keluarga Om tadi, kebetulan anaknya yang masih 2 tahun tinggal disana bersama Eyangnya. Yang paling khas dari jalanan Jogja adalah lampu merah dengan timer yang lumayan lama, dulu sampai sempat jadi bahan candaan, kita bisa turun dulu main gaple sebelum hijau lagi. Tapi salutnya adalah pengguna jalannya tetap rapi dan patuh aturan. Tidak salah istilah Kota Pelajar disandangnya.

Solo
Rencana berikutnya adalah berangkat ke Solo, dengan maksud mengunjungi Pasar Klewer. Kesalahan kami adalah kami tidak tau bahwa Pasar Klewer cuma sampai sore. Dari Jogja kami naik kereta lagi sekitar 2 jam menggunakan KA Prambanan Ekspres, kalau tidak salah ongkosnya Rp 20.000 per orang. Turun di Stasiun Purwosari seperti yang diinstruksikan teman saya, kebetulan dia juga cuti dan pulang ke Solo. Awalnya kami janjian untuk bertemu di Pasar Klewer, ternyata pas kami sampai sudah tutup. Dari Stasiun Purwosari kami naik angkot, yang jalannya lewat gang-gang kecil sampai saya pusing disorientasi arah dan pasrah saja mau dibawa kemana. Setelah sekitar 30 menit, kami diturunkan disamping Keraton Solo depan Alun-alun, Pasar Klewer ada disampingnya lagi dan ternyata memang benar-benar sudah tutup. Saya cuma sempat membeli beberapa kaos batik di pedagang di pinggirannya yang juga sudah berkemas. Setelah itu kami beristerahat di Mesjid Agung Solo yang letaknya pas di depan Pasar Klewer sambil menunggu teman saya. Kesan pertama melihat alun-alun, keraton, dan mesjid agung adalah tidak sebersih Jogja, sampah berserakan dimana-mana dan rumput juga tumbuh tidak terurus. Untuk masjid mungkin saya maklum setelah melihat ada papan informasi bahwa masjid sedang direnovasi.
Saat shalat magrib, kami bersama dengan rombongan anak SMA yang sepertinya baru menerima pengumuman kelulusan. Dengan dibimbing guru-guru mereka sujud syukur sebelum kemudian konvoi menggunakan sepeda. Salut dengan sekolah itu, sementara di tempat-tempat lain mungkin murid-muridnya inisiatif konvoi sendiri dengan motor yang meraung-raung. Tak lama teman saya datang dan kami diantar kembali ke Stasiun Purwosari menggunakan taksi, ongkosnya sekitar Rp 30.000. Dari Solo ke Madiun ada kereta Madiun Jaya dengan jadwal 4 jam sekali, harga tiketnya Rp 40.000 per orang. Jadilah hari itu kami hanya numpang shalat dan isterahat di Solo, mungkin lain kali harus lebih pagi kalau mau kesana lagi.

Madiun

beberapa monumen pesawat dari perang dunia kedua
Jarak Solo - Madiun sekitar 4 jam, kereta yang kami tumpangi sepertinya kereta yang masih baru dan sudah modern, seperti kereta-kereta di film Jepang hehe.. Bahkan di setiap gerbong ada papan digital yang memberi info nama stasiun berikutnya yang akan disinggahi. Karena kami berangkat malam maka tidak ada pemandangan yang bisa dilihat di jendela, kesempatan ini kami manfaatkan untuk memejamkan mata sejenak. Tiba di Stasiun Madiun kami dijemput Om yang sudah menunggu, dengan mobil sedannya kami akhirnya bisa merasakan perjalanan yang lebih nikmat hehe.. Sebagai perbandingan, sebelumnya di Jakarta kami kebanyakan jalan kaki, di Bandung meningkat sedikit naik angkot, di Jogja meningkat lagi jadi naik motor, di Solo meningkat lagi naik taksi, dan akhirnya di Madiun menikmati mobil pribadi hehe..
Dari stasiun kami langsung diajak makan malam di Alun-alun Kota Madiun. Yang saya sadari adalah hampir setiap kota di Jawa memiliki alun-alun sebagai pusat rekreasi dan tempat bersantai warga kotanya, hal ini yang tidak ada di Sulawesi. Setelah makan kami pulang ke tempat tinggal Om berupa perumahan perwira di kompleks pangkalan udara. Esoknya kami diajak masuk ke area pangkalan, kami sempat foto-foto di dekat landasan dengan objek monumen pesawat bekas perang dunia kedua. Abang saya tiba-tiba ingat, Madiun selain terkenal akan sejarah angkatan udaranya, juga ada sejarah mengenai partai komunisnya, maka dia mengajak ke museum komunis gitu, karena Om saya baru ditugaskan beberapa hari maka dia juga tidak hapal jalan, jadilah kami mengandalkan info dari internet, serta tanya-tanya ke anggotanya yang sudah lama disitu.
hampir nyasar ke hutan jati
Disebutkan ada semacam monumen untuk memperingati kekejaman komunis, sekitar 10 km dari kota. Maka berangkatlah kami dengan petunjuk seadanya. Setelah melewati ladang tebu, tanah kosong, perkampungan, sawah, tanah kosong lagi, perkampungan lagi, kebun, kota kecil, sawah lagi, tiba-tiba kami masuk ke area hutan jati dan jalan menanjak dan semakin sepi. Curigalah Om jangan-jangan kami tersesat. Tak lama kami jumpai seseorang di pinggir jalan yang sepertinya motornya mogok, kami bertanya arah ke orang itu dan diberitau bahwa kami melewatkan persimpangan ke monumen yang dicari. Katanya arah kami sekarang adalah ke Gunung Lawu, maka segera kami putar arah, dan anehnya setelah memberi info tadi motornya langsung bisa menyala lagi dan dia mengarah ke Gunung Lawu. Apakah....
Monumen yang dimaksud adalah beberapa buah patung  besar dan diorama masa kekuasaan komunis di daerah itu. Ada patung yang menggambarkan orang dipenggal, ada juga menggambarkan mayat bergelimpangan, tapi saya sempat heran dengan patung gerombolan anak kecil. Maksudnya keterkaitan dengan komunis apa, ternyata menurut Om itu menggambarkan keturunan komunis yang disusahkan untuk masuk ke masyarakat pada jaman orde baru, seperti jadi pegawai negeri atau ikut pemilihan umum. Disekitar monumen ada beberapa warung makanan kecil untuk pengunjung, dan seperti yang saya baca di internet sebelumnya banyak orang berdua-duaan hmm..hmm..hmmm...
kompleks monumen komunis di desa kresek
Ternyata jalan pulang ke kota lebih dekat, setelah saya cek peta lagi sepertinya lain yang kami cari lain yang kami temukan. Kami bermaksud ke Monumen Soco sementara kita sampainya di Monumen Kresek. Menurut Om lagi, memang pembantaian dulu tersebar di berbagai daerah disitu jadi mungkin saja ada banyak spot lagi yang dijadikan tempat peringatan. Keesokan paginya kami sempat ke Pasar Besar Madiun (pasar lagi...) untuk belanja batik yang tidak didapatkan di Solo.

Surabaya
Dari Madiun ke Surabaya bisa ditempuh dengan kereta, bis, atau mobil travel. Karena tenaga yang terkuras setelah perjalanan berhari-hari dan tidak ada tujuan khusus di Surabaya, maka Abang minta yang bisa langsung ke bandara, dipilihlah travel. Kalau tidak salah ongkosnya Rp 170.000 berdua, bisa antar jemput, menggunakan mobil kecil seperti Avanza atau Xenia. Perjalanan sekitar 6 jam dengan isterahat untuk makan siang di daerah Jombang. Dari berbagai perjalanan yang pernah saya alami baik di Sulawesi, Sumatera, Jawa, sepertinya sudah jadi kebiasaan salah satu objek cerita supir adalah kecelakaan yang terjadi di jalurnya. Seperti, "wah kemarin ada bis terguling disini.." atau "ada mobil pribadi minggu lalu keserempet kereta disini..." tak lama kemudian "tabrakan motor tiga hari kemarin disini bikin macet.." Cerita kedua yang selalu dipilih adalah mengenai pemimpin daerah dan kebijakannya.
Kami diantar langsung ke bandara, tidak salah pemilihan bandara ini sebagai bandara terbaik beberapa tahun lalu. Tidak sebesar di Jakarta, tapi lebih bersih dan teratur. Ternyata pas kita sampai langsung hujan deras, kambuhlah penyakit aviophobia saya, tapi tentu saja saya tidak perlihatkan, untungnya sebelum take off hujannya reda, tapi tetap saja saya tidak bisa tidur selama penerbangan...

Makassar
Enaknya terbang ke Makassar dari Surabaya adalah penerbangannya lebih singkat dibanding dari Jakarta, cuma sekitar sejam jadi tidak perlu lama-lama aviophobianya hehe.. Makassar tidak banyak berubah, hanya ada foto besar 3 personel JKT48 di bandara, pengen foto disitu sih sayang memory hape penuh hehehe...(salah fokus). Kembali lagi, tidak banyak yang berubah, hanya pohon-pohon di depan bandara semakin rindang, selain itu jalan-jalan di kota juga semakin lebar tetapi semakin macet pula, aneh. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun saya masuk lagi ke kompleks kampus Unhas.
Ah, satu yang masih sama, warung bakso langganan depan gang masih ada dan ternyata Ibu yang punya warung masih ingat saya. "Kamu itu sudah kerja kok gaya masih kayak mahasiswa.." itu komentarnya saat pertama ketemu hehe..

Sengkang
Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, Sengkang ini adalah kota kelahiran saya. Dari Makassar bisa naik angkutan umum yang konsepnya seperti travel di Madiun, ongkosnya Rp 60.000. Ini juga pertama kalinya saya ke Sengkang dari arah Makassar, berangkat jam 3 subuh dan lama perjalanan sekitar 5 jam. Tapi yang epic banget adalah di daerah Camba. Medan jalan yang menembus gunung berliku-liku, bahkan di beberapa tempat, posisi jalan ada dibawah batu besar, serem. Supir harus ekstra hati-hati dan setiap beberapa menit membunyikan klakson agar tau apakah dibalik tikungan ada mobil lain, karena setiap berpapasan harus pelan-pelan menghindari jurang di sisi lain jalan. Ketika sampai di puncak gunung pemandangan berkabut menghampar, ditambah beberapa kali posisi mobil berhadapan langsung dengan matahari terbit sehingga jalan menjadi blank spot. Horror bertambah setelah tak sengaja saya melirik supir yang sedang menguap-nguap ngantuk. Untung jalanan sepi.
Di Sengkang saya ke rumah Abang yang sudah tiba sehari sebelumnya untuk ketemu ponakan pertama kalinya. Setelah menginap semalam disitu baru saya menuju ke Kaluku. Naik angkutan umum lagi dengan ongkos biasanya Rp 20.000, berhubung itu mobil Om di Kaluku saya digratiskan hehehe...

Ada yang pernah bilang kenapa setelah dewasa waktu terasa cepat berlalu padahal saat masih kecil, sehari saja dirasakan sangat lama. Katanya, itu karena saat kecil kita selalu bertemu hal baru, belajar hal baru sehingga sangat menikmati waktu, sementara setelah dewasa dan terjebak rutinitas tiap hari membuat waktu terasa sangat cepat, tanpa sadar sudah pagi lagi, sudah sore lagi, sudah malam lagi.

Hal ini saya buktikan dalam perjalanan ini. Biasanya setiap pulang ke rumah maka waktu akan terasa sangat cepat, belum puas makan makanan rumah sudah harus kembali lagi ke perantauan. Tetapi saat itu, dalam 4 hari perjalanan menyusuri kota-kota di Jawa terasa berminggu-minggu.  Bahkan saat kembali ke Jakarta, saya merasa sudah pergi selama berbulan-bulan. Karena itu saya ingin mengulang kembali tetapi dengan rute berbeda. Banyak hal yang harus dibereskan dulu sebelum itu, termasuk skripsi..ah skripsi...ah?? Skripsi belum disentuh sedikit pun.....!!! :((

0 komentar:

Posting Komentar

My 99designs Folio

Check out 99designs for Logo Design