Tulisan dariku ini, mencoba mengabadikan
Mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang

Kamis, 12 Desember 2013

Gunung Gede yang tidak kecil

Seorang tua yang merupakan mantan aktivis dan pecinta alam pernah berkata, kalau tidak salah melalui akun twitternya, "Kalau cuma sakit flu saja tidak usah minum obat, pergilah ke daerah pegunungan yang udaranya bersih nanti sembuh sendiri". Sudah lama saya penasaran ingin membuktikan kata-kata itu, saya percaya, cuma belum pernah melakukannya. Hingga suatu hari tibalah sebuah ajakan yang terlalu sayang untuk dilewatkan, ajakan mendaki Gunung Gede. Setelah mencocokkan jadwal pendakian dengan jadwal libur, menghitung biaya pengadaan peralatan wajib pendaki, maka saya pun mendaftar untuk diikutkan. Hanya saja saya sedang tidak sakit flu, tapi sakit hati. Pikir saya, beda tipislah ya, mungkin bisa terobati juga di gunung.



menuju puncak
Mulailah saya bertualang dengan teman saya yang mengajak tadi, di dalam kota. Ya, sesungguhnya bagi pendaki pemula, petualangan dimulai dari pengadaan alat wajib yang harus dibawa. Yang utama tentu saja carrier dan sepatu hiking. Keduanya bisa kami dapatkan setelah berkeliling di pasar tradisional, meskipun kw. Karena kami mendengar pernyataan seorang teman, semua itu ada pasangannya, termasuk barang ori pasangannya adalah barang kw. Tapi kenapa saya tidak punya sampai sekarang??
Sementara tenda sudah disiapkan oleh guide penyelenggara pendakian dan sleeping bag serta matras kami menyewa. Selain itu barang lain seperti peralatan makan, cemilan, dan pakaian ganti juga harus ada. Pokoknya di gunung harus tetap siap sandang, pangan, dan tenda (kalau bawa papan repot).

Kami berlimabelas, lima diantaranya masih teman kuliah dan kerja, berkumpul di meeting point keberangkatan Terminal Kampung Rambutan. Dalam perjalanan ke sana saja sudah bisa jadi cerita sendiri karena kejadian yang terduga dan tidak terduga. Nantilah saya ceritakan, pokoknya lebih dramatis dan lebih 'kebetulan' dari sinetron.
Kami berangkat Jumat sore, dan ternyata sampai di Kampung Rambutan pemandangan orang menggendong carrier berseliweran. Menurut info memang setiap akhir pekan banyak yang mendaki gunung, orang-orang yang penat dengan rutinitas perkotaan. Yang lebih membuat mata terbelalak banyak cewek juga dengan carrier yang setinggi kepala. (oke, yang bikin terbelalak bukan carriernya, tapi kecantikannya). Wanita-wanita tangguh. Selama dua jam kami menumpang bis umum ke Cibodas, setelah itu dilanjutkan naik angkot 15 menit ke basecamp tempat menginap karena pendakian dimulai subuh. Beberapa peserta langsung isterahat dan tidur, saya cari makan karena perut sudah bergelora membahana. Setelah makan dan bermaksud tidur, ternyata sudah disuruh siap-siap, bisa saya rasakan mata ngomel-ngomel ke perut yang egois.

Setelah berdoa bersama, kami berangkat ke gerbang penjaga situs pendakian. Sebelum mendaki diwajibkan untuk melapor disana dan menunjukkan surat izin pendakian. Sekitar pukul 4.30 subuh dimulailah perjalanan. Mungkin karena memang Gunung Gede diperuntukkan bagi pendaki pemula, jalur pendakian sudah disiapkan dan diberi lapisan batu-batu supaya tidak licin. Selain itu terdapat tempat wisata Curug Cibeureum dekat situ sehingga makin banyak orang berwisata. Perjalanannya sendiri bermotif mendaki, mendaki, dan mendaki. Saya menyesal jarang melanjutkan rutinitas jogging ringan setiap Sabtu pagi karena baru beberapa meter sudah ngos-ngosan dan kaki sudah berat.
Telaga Biru yang dimata saya hijau

Sekitar sejam mendaki kami beristerahat di Telaga Biru. Sebuah telaga kecil yang diairi sungai kecil juga yang mengalir dari gunung yang tidak kecil. Warnanya dimata saya hijau, jadi saya heran kenapa dinamakan Telaga Biru, atau buta warna saya kambuh? Kami sempat foto-foto disini dan entah kenapa setelah beberapa kutip capek saya hilang dan nafas jadi normal. Sungguh luar biasa efek narsisme, seakan-akan saya recharge untuk melanjutkan pendakian.
Setengah jam kemudian kami sampai di Rawa Gayonggong, sebuah rawa-rawa yang diatasnya dibangun jembatan agar bisa diseberangi. Pemandangan disini sangat indah, rawa-rawa dan hutan hijau di sekelilingnya dengan latar belakang puncak Panrango. Awalnya saya memakai kaos lengan panjang dan dibungkus jaket, disini jaketnya saya buka karena mulai merasa gerah.Saat itu sudah lumayan terang sehingga sudah tidak terlalu dingin dan pemandangannya lebih jelas.

Puas foto-foto kami melanjutkan lagi mendaki, mendaki, dan mendaki. Saat itu saya merasa sehat sekali, karena biar pun napas satu-dua tapi udara yang masuk paru-paru benar-benar bersih. Selain itu ada juga suara burung yang bebas nangkring di dahan-dahan pohon. Jalur pendakian lumayan ramai sehingga beberapa kali kami bertemu kelompok pendaki yang isterahat atau kami sedang isterahat dilewati kelompok lain. Semua saling menyapa dengan ramah, apalagi jika dikelompok itu ada peserta cewek. Tidak sedikit pendaki cewek, berjilbab dan pakai rok panjang (masa iya pendek) tetap bersemangat.
Tak lama kemudian kami sampai di Pos I. Pos ini berada di jalan cabang antara jalur pendakian dan jalur ke tempat wisata Curug Cibeureum. Banyak kelompok pendaki yang beristerahat disini melepaskan carrier sejenak untuk membebaskan punggung. Saya sempatkan untuk sarapan roti karena perut bergelora lagi. Setelah itu saya lebih segar tapi jadi sedikit tidak enak sama yang lain, karena udara perut keluar terus setiap melangkah.
Rawa Gayonggong

Kembali lagi kami mendaki, mendaki, dan mendaki. Kali ini jarak ke pos berikutnya lebih jauh dan tidak ada spot istimewa lagi seperti telaga atau rawa sebelumnya. Sesekali beristerahat agar yang dibelakang bisa menyusul yang didepan, tapi tetap saja lama-lama rombongan terpisah menjadi dua. Apalagi setelah salah seorang teman mengalami kram kaki sehingga harus isterahat sedikit lebih lama. Saya ikut rombongan belakang dan kami maju perlahan-lahan sambil mengawasi si kram kaki. Mau saja sebenarnya mendahului dan menyusul sendiri rombongan depan, tapi tidak enak rasanya sama teman takut terjadi apa-apa yang butuh orang lebih, atau sayanya yang apa-apa kalau jalan sendiri. Ketika menemui seorang pendaki duduk sendiri sedang isterahat saya merasa kagum juga dia berani naik sendiri, tapi tak lama dia malah menawarkan nasi uduk (ternyata warga lokal yang menjual nasi untuk pendaki). Kata guide memang bahkan sampai di puncak pun ada pedagang makanan. Sejak itu saya berdoa semoga diatas nanti ada yang jual nasi padang.

Mungkin ada dua jam lebih kami mendaki baru sampai di Pos II yang berupa spot air terjun panas. Disini pun banyak kelompok yang beristerahat sebelum melanjutkan perjalanan yang lebih ekstrem, karena selanjutnya harus menembus air terjun itu. Jalurnya sempit dan meniti batu-batuan licin yang basah karena disiram terus-menerus oleh air panas yang juga menimbulkan kabut tebal. Disediakan tali dan pagar besi yang sudah rusak di beberapa bagian untuk berpegangan supaya tidak terpleset ke jurang di sebelah kanan. Di ujung atasnya, di tempat yang lebih datar dan luas, ternyata banyak yang berhenti menikmati sungai kecil air panas sekedar merendam kaki yang lelah. Di sekitar sini sudah banyak yang mendirikan tenda juga, sementara kami melanjutkan perjalanan sekitar 200 meter untuk sampai di Pos III, Kandang Batu.
Perkemahan Kandang Batu

Kandang Batu merupakan salah satu spot perkemahan karena tempatnya lumayan datar. Rombongan depan yang sudah sampai duluan telah mendirikan tenda diantara belasan tenda-tenda kelompok pendaki lainnya. Panjang dataran ini sekitar 100 meter dengan lebar di kiri kanan jalan 5 - 10 meter dan diselingi pepohonan berlumut hijau serta semak-semak. Terdapat dua sumber air berupa sungai kecil dengan air panas dan air dingin yang bisa digunakan untuk bersih-bersih dan memasak. Awalnya saya kira hari telah sore karena suasana yang agak gelap tapi ternyata saat itu baru sekitar pukul 11.00 siang.
Setelah mengatur barang-barang dalam tenda kami segera memasak untuk makan siang, apalagi perut saya yang masih berontak karena cuma dapat jatah roti tawar. Nasi, mie instan, dan ikan sarden adalah menu standar dalam kegiatan outdoor. Itu pun saya sogok lagi dengan mie cup serta beberapa potong biskuit. Tak lama malah berontak lagi ingin mengeluarkan isinya. Setelah sukses mengeluarkan isi perut (tidak perlulah diceritakan detailnya), baru saya agak tenang dan bisa tidur sore. Hujan rintik-rintik mulai turun membasahi pohon dan ranting dan juga tenda, suara alam dengan sesekali suara pendaki yang melintas dekat tenda memberi ketenangan sendiri dan saya pun lelap sampai sore.

Sore hari kami isi kegiatan keliling-keliling perkemahan sambil foto-foto. Selain itu juga membersihkan peralatan makan bekas siangnya sekalian mengambil air untuk memasak berikutnya. Mungkin karena rasa malas kami kembali ke tenda dan tidur lagi sementara yang lain masih sibuk dengan aktivitasnya. Ketika terbangun sekitar pukul 09.00 malam, ternyata orang lain sudah tidur semua di tenda masing-masing sementara kami baru mau memasak dalam gelap untuk makan malam. Nugget menjadi menu tambahan untuk mengisi perut. Setelah itu kami mengobrol sambil berbaring dalam tenda mencoba tidur kembali.
Saat subuh saya terbangun suara derap sepatu-sepatu pendaki yang lewat dekat tenda. Tak lama guide datang membangunkan kami, ternyata untuk mencapai puncak waktu yang paling baik adalah berangkat subuh. Semua barang ditinggal di tenda dan yang dibawa hanya tas kecil berisi air minum dan cemilan. Subuh itu setiap orang berpakaian lengkap, jaket, kupluk, dan sarung tangan, karena suhunya lumayan dingin, ditambah senter dan headlamp untuk menerangi jalan.
Perkemahan Kandang Badak

Kami lanjutkan lagi kegiatan kemarin, mendaki, mendaki, dan mendaki dengan medan yang lebih curam. Sejam kemudian kami sampai di Pos IV yang berupa lahan perkemahan juga dan dinamai Kandang Badak. Disini jumlah kemah yang terpasang jauh lebih banyak karena diujungnya ada percabangan jalan ke arah Puncak Gede dan Puncak Pangrango, sehingga tempat ini seakan base terakhir bagi semua pendaki sebelum lanjut ke puncak yang dituju. Di tempat ini juga ada sumber air yang lebih baik, saya merasakan sendiri airnya yang sangat segar melebihi kesegaran air isi ulang.
Saat itu kebanyakan penghuni perkemahan masih terlelap, setelah mengambil air minum kami melanjutkan pendakian mengejar pemandangan matahari terbit di puncak. Medannya lebih terjal lagi dan jenis tumbuhannya pun sudah berbeda, bukan lagi pohon berbatang kayu lurus seperti yang banyak tumbuh di bawah. Di satu titik malah diberi nama Tanjakan Setan karena jalurnya sudah berupa tebing setinggi beberapa meter, sebenarnya ada jalan alternatif yang disediakan untuk memutari tebing itu, tapi kami mencoba melewatinya. Di tengah tebing saya berhenti dan menoleh ke bawah, dan langsung menyesal, phobia ketinggian saya langsung kambuh. Di ujung tebing tersaji pemandangan Puncak Pangrango dengan gagahnya.

Sekitar setengah jam kemudian sampailah kami di pinggir kawah belerang. Di situ semak-semak sudah semakin jarang digantikan oleh bunga-bunga edelweiss, Puncak Gede yang jadi tujuan kami juga sudah terlihat. Karena jalan yang lambat kami melewatkan momen matahari terbit dan tempat itu sudah ramai dengan pendaki yang sampai lebih dulu. Dengan menyusuri pinggir kawah kami mendaki lagi ke puncak diiringi pemandangan sekeliling yang luar biasa. Di belakang terpampang Puncak Pangrango, di kiri ada kawah belerang dikelilingi hijau terhampar luas sampai di pemukiman nun jauh, di kanan ada pemandangan perkemahan Suryakencana dan Gunung Putri.
MU di puncak (amin!)
Puncak Gede ditandai dengan sebuah plang yang mencantumkan ketinggiannya dari permukaan laut. Kami beristerahat disitu sambil makan apa yang bisa dimakan (ada penjual makanan dengan harga se-puncak). Berbagai kelompok pendaki bergantian berfoto di plang itu, ada yang dari kelompok pecinta alam, alumni sekolah dan kampus, serta klub-klub hobi lainnya yang mengisi libur dengan mendaki. Puas berfoto dan beristerahat kami turun kembali ke perkemahan.

Mungkin karena faktor jalan menurun yang butuh lebih sedikit tenaga dibanding mendaki sehingga jalur pendakian yang ditempuh 3 jam bisa dituruni dalam 2 jam. Sesampai di tenda kami memasak dan makan siang kemudian mulai merobohkan tenda dan membersihkan sekitarnya. Sudah jadi aturan bahwa sampah harus dibawa turun, meski sebenarnya tempat perkemahan itu lumayan kotor karena sampah dari pendaki-pendaki sebelumnya. Setelah semua rapi kami pun mulai perjalanan kembali ke basecamp melalu jalur sebelumnya. Ketika sampai di air terjun panas ternyata ada bongkahan batu besar yang bergeser sehingga menutupi jalan, semua harus berhati-hati memutari batu itu untuk melewatinya. Saya sempat merasa ngeri bagaimana jika mendadak ada batu lagi yang menggelinding datang tiba-tiba dari tengah kabut diatas kami.
Perjalanan turun ini juga lebih cepat daripada mendaki hari sebelumnya, saat mendaki dibutuhkan sekitar 5 jam, tapi untuk turun tidak sampai 4 jam. Itu karena kami lebih jarang beristerahat. Saya hanya memikirkan enaknya nasi padang mengepul dan kasur yang empuk sehingga kaki melangkah lebih ringan. Setelah isterahat sebentar di basecamp dan makan sore di warung sekitar situ, kami mencari transportasi kembali ke kota.

Belum juga sampai di kamar kost, saya sudah merasa sesak nafas. Setelah terbiasa dengan udara gunung yang bersih, udara kota berpolusi menjadi terasa berat. Belum lagi membandingkan keramahan setiap pendaki yang selalu menyapa ramah, dibanding orang-orang kota yang selalu terburu-buru dengan urusan masing-masing. Saya gagal membuktikan ucapan orang tua diawal cerita. Malah pulangnya saya terserang flu, mungkin terlalu singkat udara bersih dinikmati paru-paru. Tapi entah kenapa saya merasa lebih bahagia dan optimis.
Saya teringat satu pernyataan seorang dosen saya, "kalau hubunganmu dengan pasanganmu sedang tidak baik, ajaklah dia ke tempat dengan pemandangan terbuka, seperti pantai atau pegunungan, perasaan kalian akan lebih lega dan terbuka," well, tidak ada pasangan yang saya ajak, saya pelintir sajalah, semoga jalan ketemu jodoh lebih lega dan terbuka.

Untuk menyalurkan narsis agar tidak mengendap jadi jerawat, berikut foto-foto lainnya saya lampirkan:

latar belakang Puncak Pangrango, setelah melewati Tanjakan Setan
latar belakang perkemahan Suryakencana dan Gunung Putri
vegetasi di jalur pendakian
latar belakang air terjun panas yang mengalir dari kawah
latar belakang Puncak Pangrango
isterahat nungguin mbak-mbak pendaki lewat
nyantai depan tenda
foto bareng
bersanding dengan edelweiss di pinggir jurang

0 komentar:

Posting Komentar

My 99designs Folio

Check out 99designs for Logo Design