Tulisan dariku ini, mencoba mengabadikan
Mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang

Senin, 05 Mei 2014

Dia yang manis

Manchester United dikalahkan rival abadinya Liverpool dengan skor 0-3 di kandang kebanggaan mereka, Old Trafford. Dalam keadaan normal hal ini akan membuat saya sangat terguncang sebagai penggemarnya. Bagaimana tidak, lawan satu ini adalah musuh bebuyutan United dan mereka berhasil membobol 3 kali tanpa bisa dibalas satu pun. Di kandang pula. Hanya saja sehari sebelumnya ada sesuatu yang meremas hati saya sehingga kebas tak mampu merasa (ca'ilah..)

Sehari sebelumnya seorang teman mengontak saya lewat BBM. Kata-kata pembukanya adalah, jangan berkecil hati ya. Itu sudah seperti kebobolan gol pertama, down tapi saya langsung bangkit dan segera membuang prasangka buruk. Kata-kata berikutnya adalah, sebenarnya saya tidak tega memberitahu ini. Itu ibarat kebobolan gol kedua, meruntuhkan semangat disaat mencoba bangkit tapi saya masih tetap berusaha tegar menunggu apa yang akan terjadi. Dan bagian terakhir adalah dia mengirim gambar capture hasil chat dia dengan seseorang beberapa hari sebelumnya, ini adalah gol ketiga yang memporakporandakan semua, langit menjadi gelap, bumi gonjang ganjing.


Gambar-gambar itu adalah chat dia dengan seorang adik kelas semasa SMA. Cewek, manis, baik hati. Adik kelas ini memang sudah kenal sejak masa SMA tapi dekatnya baru setelah saya hampir lulus kuliah di Bandung. Bukan karena dia juga disana waktu itu. Tapi komunikasi yang baru terhubung. Mungkin malaikat masih sibuk membangun BTS untuk kami sebelum itu.

Saya sendiri lupa bagaimana awalnya, tapi sejak itu kami sering bertukar SMS, saling lempar komentar di akun sosmed, dan kadang berbalas canda di telepon. Saya, yang memang mempunyai masalah akut dalam pergaulan tentu kegirangan dapat teman berbagi meski jarak jauh. Bahkan di suatu waktu dia bersedia menelpon setiap pagi untuk membangunkan saya agar tidak telat kuliah. Cewek manis mana lagi yang mau begitu untuk saya yang bukan siapa-siapa dan jauh dimata?

Tapi yang paling saya suka adalah mendengar cerita-ceritanya. Cerita tentang keluarganya, kampusnya, teman-temannya. Bagaimana dia heran ketika belasan tahun berselang tiba-tiba dia punya adik lagi, bagaimana serunya dia mengejar tanda tangan dosen untuk tugas akhirnya. Dan tawa cerianya disetiap ujung cerita... 

Kehadirannya terus mengalun indah di hari-hari akhir kuliah saya waktu itu, meski hanya secara virtual. Dan ketika saya bekerja untuk pertama kalinya kemudian harus berpindah-pindah kota di daratan Sumatera, pesan-pesannya terus hadir memberi semangat. Betapa mengertinya dia mengenai kegemaran saya pada sepakbola, hingga suatu hari di pedalaman Lampung Utara masuk SMS darinya hanya untuk mengatakan Piala Dunia surganya sepakbola sudah dimulai. Sayang tidak ada akses untuk menonton di daerah itu, tapi karena SMS itu saya merasa hampir memenangi Piala Dunia.
Di hari yang lain, saat saya terjebak pengapnya udara Kota Medan, bunyi telpon darinya. Katanya dia sedang karaoke dengan teman-temannya dan saat itu adalah gilirannya menyanyi. Tidak dimatikan telponnya agar saya bisa mendengar lagunya. Dasar pengetahuan musik saya seujung jari, saya lupa judul lagu apa itu, tapi yang saya ingat cuma bisa tersenyum sepanjang lagunya dan mendadak udara terasa sejuk malam itu.

Ketika untuk pertama kalinya saya mudik dari perantauan Sumatera, tanpa saya sangka si adik kelas ini datang ke rumah beberapa hari setelah lebaran. Bersama seorang teman kelas saya, hanya mereka teman SMA yang datang ke rumah pada tahun itu, kecuali tentu saja teman sangat-dekat saya. Saat itu dia memberitahu rencananya mengunjungi keluarga di Sumatera, tidak jauh dari tempat saya ditugaskan. Tapi satu hal lagi yang saya ingat, sedikit rasa cemburu pada teman kelas saya itu bisa keliling berziarah lebaran bersama.

Di hari-hari keberadaannya di Sumatera, berjarak hanya 3 jam dari tempat tugas saya. Tidak pernah sekalipun saya beranikan diri mengunjunginya. Selain pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, juga sungkan karena adat keluarganya tidak biasa menerima tamu lelaki. Kecuali satu hari, menjelang kepulangan saya karena masa tugas berakhir. Pekanbaru, kota yang selalu punya tempat tersendiri di hati. Bukan karena indah kotanya, malah panas karena dekat garis khatulistiwa. Tapi di kota ini, hampir 3000km dari rumah, kami sempat bertemu.
Selama menunggu keberangkatan pesawat pulang, saya menginap di tempat teman. Dan disitu si adik kelas yang manis datang menjumpai dengan diantar kakak sepupunya. Tidak lama perjumpaan kami dan tidak banyak pembicaraan kami, bahkan waktu itu kami bertemu di pinggir jalan berdebu. Saya malu menunjukkan tempat menginap saya yang berantakan karena juga berfungsi sebagai base kantor kami disitu. Tapi hari itu menjadi penutup manis petualangan saya di Sumatera.

watashi wo kaetano wa anata


Saya kemudian harus melanjutkan kuliah di Jakarta dan juga menemukan pekerjaan baru. Tak lama si adik kelas pun meninggalkan Pekanbaru dan kembali ke kota asal kami. Komunikasi kami masih tersambung tetapi semakin lama semakin jarang. Saya merasa dia mulai bosan jadi saya memutuskan untuk membatasi menghubunginya agar dia tidak merasa terganggu.
Saya mencoba mencari tau lewat teman kelas yang lain. Katanya saya dianggap saudara saja. Kecewa tentu saja, tapi secara logis saya bisa terima karena si adik kelas adalah anak tertua di keluarga sehingga mungkin butuh sosok saudara yang lebih tua. Bahkan ketika mendengar kabar bahwa dia menjalin hubungan serius dengan seseorang. Maka saya memutuskan mundur teratur.

Hampir tiga tahun berselang, di penghujung tahun kemarin, terima kasih kepada ahli teknologi di Barat sana handphone saya akhirnya bisa menjalankan aplikasi BBM. Fasilitas chatting yang banyak digunakan teman SMA saya ini membuat saya bisa terhubung kembali dengan mereka, termasuk si adik kelas. Chatting-chatting ringan ternyata mengaktifkan kembali impuls-impuls yang dulu saya matikan. Dengan masukan dari teman dekat yang saya sebutkan paling awal tadi, yang dari 100 masukannya hanya 1 yang masuk akal, saya memberanikan diri mendekat lagi. Penyakit malu dan tidak pede akut menyerang lagi. Untuk menyatakan perasaan melalui telepon saja butuh satu hari. Dari pagi sampai malam. Dari Jakarta sampai Purwokerto.
Ya, awal tahun kemarin saya ikut trip pendakian ke Gunung Slamet via Purwokerto. Sejak pagi menjelang keberangkatan dari Jakarta saya menelpon si adik kelas tapi tidak ada satu kata yang bisa keluar. Di sepanjang perjalanan pun berkali-kali saya telepon tapi tetap tidak bisa mengatakannya. Hingga akhirnya rombongan sampai di kaki Gunung Slamet jelang tengah malam, dengan kondisi sinyal timbul tenggelam, baterai hp dan pulsa sekarat, akhirnya maksud saya tersampaikan. Hanya saja ketika si adik kelas baru mau menjawab, pulsa habis. Terpaksa saya menunggu setelah turun gunung untuk menghubunginya kembali. Karena mana ada penjual pulsa tengah malam di kaki gunung.

Sepulang dari pendakian barulah jawaban saya terima yang intinya si adik kelas masih belum siap menjalin hubungan lagi karena ternyata saat itu beberapa bulan sebelumnya dia baru berpisah dengan yang dulu. Dia bisa melupakan mantan, begitu katanya, hanya saja belum berani memulai lagi. Secara logis saya juga bisa terima itu, tidak ada yang salah dengan itu.
Beberapa hari kemudian saya mengambil cuti dan pulang ke rumah. Selain untuk menjenguk ponakan kedua saya yang baru lahir saya juga ingin bertemu si adik kelas. Tapi karena sedang sibuk maka dia meminta untuk dikunjungi di rumah kontrakannya. Untuk pertama kalinya saya merasakan apel ke rumah cewek. Bagaimana saya singgah membeli coklat untuknya, bagaimana kami berbincang meski canggung awalnya, bagaimana makan siang bersama di warung bakso tak jauh dari situ.
Saat itu saya kembali menanyakan keputusannya, meski saya tau tidak akan berubah tapi saya paksakan diri untuk menanyakan lagi. Karena saya ingin mendapat jawaban langsung tatap muka tanpa perantara sinyal telepon. Dan memang jawabannya tetap sama dan dengan jiwa (sok) besar saya juga menerimanya secara logis. Hari itu saya bahagia bisa merasakan apel yang belum pernah sebelumnya dan itu menutupi kekecewaan saya.

Keesokan harinya menjelang keberangkatan saya meninggalkan lagi kota itu, saya mengirim pesan mengatakan saya akan menunggu sampai dia siap. Itulah yang saya pikirkan waktu itu, mungkin karena jarak kami yang jauh tidak meyakinkannya, mungkin komunikasi yang kurang intens tidak memberinya pertimbangan lain. Maka hari itu saya memutuskan mencari jalan agar bisa kembali ke kota itu secara permanen, selain lebih dekat ke keluarga juga lebih dekat dengannya. Dan untuk pertama kalinya juga saya ingin membuat rencana hidup kedepan dan mencocokkan dengan rencananya. Tapi jawaban dari pesan saya hari itu hanyalah emoticon wajah datar :|

Kembali ke awal cerita, mengenai gambar capture yang dikirim teman saya itu. Itu adalah capture chat si adik kelas dengannya. Yang isinya meminta agar teman saya ini mengingatkan saya bahwa tidak perlu menunggu si adik kelas, bahkan bila dia sudah siap menjalin hubungan baru, tidak mungkin dengan saya. Karena perkara hati tidak bisa dipaksakan untuk suka pada seseorang. Kembali lagi logika saya yang menjawab tidak mudah memaksakan hati untuk suka seseorang, tapi berhenti suka juga begitu.

Saat itu saya baru tersadar, apakah selama ini logika sudah membohongi saya?
Dan pertandingan Manchester United vs Liverpool pun hanya sekedar 22 orang mengejar bola di lapangan...



2 komentar:

Unknown mengatakan...

Lettingku brarti ini oom,,,

beddu mengatakan...

waduh gaswat, bisa ketahuan ini hehe

Posting Komentar

My 99designs Folio

Check out 99designs for Logo Design