Tulisan dariku ini, mencoba mengabadikan
Mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang

Jumat, 20 Desember 2013

Hei Ronnie, can i (&@&$%

Di sebuah hari yang biasa-biasa saja, tidak ada kejadian istimewa seperti bersenggolan dengan seorang gadis terus tak sengaja bertemu lagi di Jogja, atau tiba-tiba datang surat yang diantar burung hantu berisi panggilan masuk sekolah sihir. Matahari masih sama panasnya dengan beberapa diskon untuk item tertentu (bisa bikin item), bulan pun masih beranjak malas dari tanggal tuanya yang sangat tua (if you know what i mean). Di hari yang biasa-biasa saja itu, di tengah kebosanan memandangi monitor kerja sambil menunggu mbak-mbak cantik ruang sebelah yang tidak lewat-lewat, saya membuka akun twitter sekedar membaca timeline mencari info yang menarik. Ada update dari teman yang mungkin semangatnya sedang berlebih sehingga merasa perlu berbagi semangat di timeline, oke, skip. Ada akun info olahraga yang beritanya itu-itu saja cuma beda judul, skip. Ada teman SMA dulu yang sekarang sudah jadi ibu-ibu melampiaskan pikiran joroknya di timeline, baca dikit, resapi, skip. Ada yang entah sedang berbagi ilmu agama atau sedang pamer ibadahnya, skip.



trofi liga inggris
Tiba-tiba ada satu info menarik, dari akun resmi klub sepakbola berwarna merah berlambang setan. Disitu tertulis bahwa klub sedang mengadakan acara resmi berupa tur memamerkan trofi juara ke sekeliling dunia (klub jago, pamer, wajarlah). Trofi sudah keliling di wilayah Amerika Selatan dan akan memulai tur di Asia, dimulai dari Jakarta, Indonesia. Wow, saya hampir melonjak kegirangan. Ilusi tentang senggolan dengan gadis, undangan masuk sekolah sihir, mbak-mbak cantik ruang sebelah, dan update jorok si teman SMA, semua langsung hilang dari pikiran. United Trophy Tour dijadwalkan mampir di Jakarta pada 2 Desember 2013 di dua lokasi, Monumen Nasional (Monas) dan di salah satu mall mewah. Karena saya tidak terlalu berpengalaman menginjakkan kaki di mall, maka saya lebih tertarik mengunjungi acara di Monas, selain lebih dekat. Setelah mencocokkan jadwal acara dengan jadwal kerja, saya kembali bengong menunggu mbak-mbak cantik ruang sebelah, sekaligus menunggu pergantian tanggal tua ke muda.

Hari berganti hari, malam berganti malam, hari dan malam bergantian. Tibalah pada tanggal yang telah ditentukan. Saya bersemangat sekali pagi itu, semua laporan dengan cepat saya selesaikan, tentu laporannya benar, tidak asal-asalan. Semua meja dibersihkan, kursi dirapikan, lantai disapu dan dipel, piring gelas kotor dibersihkan (yang ini cerita abang OB sih). Semakin siang beberapa teman sekantor mulai berdatangan, hari itu hari Senin, dan sepertinya semua kena syndrom senin pagi. Datang dengan diam, muka ditekuk, duduk malas-malasan, menyalakan komputer dengan pandangan kosong. Segera saya ambil remote tv dan mencari siaran berita, siapa tau ada berita mengenai serangan zombie telah terjadi.
Di poster pada akun twitter klub tadi disebutkan bahwa trofi dipamerkan di Monas hanya selama sejam, pukul 11.00 - 12.00 (sejam atau sepukul sih namanya?), setelah itu dipindahkan ke tempat kedua, mall mewah. Jadi sejak pagi sampai pukul 10.00 saya bekerja dengan rajin demi mendapat kelakuan baik di mata senior agar nanti bisa ijin sebentar. Untunglah si senior tidak curiga dan malah terharu melihat etos kerja saya yang tanpa pamrih pantang menyerah, sampai-sampai dia bahkan mau mengangkat saya jadi anaknya (oke, skip). Rencana mega brilian saya tidak berhenti sampai disitu, saya juga mulai menghasut teman semeja (kalau sebangku nanti dikira di sekolahan) untuk menemani ke tempat acara. Saya katakan bahwa kita akan melihat langsung trofi liga inggris! Liga yang paling bergengsi di dunia! Ini adalah kesempatan sekali seumur hidup! Padahal saya cuma mau ada yang pegang kamera nanti disana.

Setengah jam kemudian kami sudah di halaman kantor. Kebetulan tempat kerja saya berseberangan persis dengan Monas, gerbangnya cuma diantarai jalan protokol, dan pedagang asongan di trotoarnya. Monas dan tamannya itu luas sekali, lebih luas dari dunia, karena katanya dunia cuma selebar daun kelor sementara tamannya Monas jauh lebih lebar dari daun kelor. Saya dan teman mulai mencari tempat trofi dipamerkan, ada beberapa kerumunan tapi ternyata bukan mengerumuni trofi. Ada juga beberapa panggung yang sedang didirikan, ketika kami mendekat menanyakan, panggung itu untuk acara malam. Ada lagi puluhan orang berbaju merah sedang berfoto dengan latar Monas, saya pikir pasti ini tempatnya, merah. Tetapi ketika didekati ternyata itu rombongan karya wisata mahasiswa dari Sumatera. Saya mulai bingung, jangan-jangan info di twitter salah atau acaranya dibatalkan.
bersama Fortune
Satu lagi tentang Monas, saat siang disitu panas sekali. Bayangkan saja, meskipun ada banyak pohon tapi Monas terletak di tengah-tengah melimpahnya polusi kota terbesar di Indonesia, apalagi di bundarannya yang berupa hamparan paving blok yang terpapar langsung sinar matahari. Maka kami memutuskan berteduh dulu di bangku taman yang disediakan, sambil mata tetap mencari-cari (bukan mencari mata pencaharian, cari-ception). Tak lama ada dua remaja tanggung mengenakan jersey klub lewat depan kami, terus ada lagi abang-abang lewat juga dengan aksesoris klub. Mau ditanya, ternyata mereka jalannya cepat, tiba-tiba saja sudah jauh (mungkin punya ilmu kanuragan). Setelah memperhitungkan segala kemungkinan, kami menimbang, mengingat, dan memutuskan, untuk memeriksa di sisi Monas satunya lagi, yang berarti kami harus berjalan memutar di bundaran paving blok sepanas gurun itu.

Baru seperempat lingkaran Monas kami putari, kami sudah dehidrasi akut. Kami segera ke pinggir kembali mencari oase yang menyediakan mata air dan susu unta serta kurma (ceritanya kan seakan-akan di gurun). Setelah mengatur nafas dan mata tidak berkunang-kunang lagi, kami mengedarkan pandangan kembali mencari tempat trofi dipamerkan. Tiba-tiba dari pelataran Monas ada kilatan cahaya dan beberapa orang berkumpul disana. Saya sedikit berharap itu pantulan cahaya dari trofi yang memang terbuat dari logam, tapi saya juga ragu jangan-jangan itu cuma kilatan lampu kamera, atau malah pesawat alien yang sedang mendarat di sana (oke, skip). Ternyata teman saya juga melihat kilatan itu, jadi benar saya tidak sedang berhalusinasi.
Urusannya menjadi lebih pelik, kami mengalami dilema antara berjalan ke pelataran Monas untuk mengecek kilatan tadi, yang berarti melintasi padang paving blik lagi, atau mencari di tempat lain. Urutan denah taman Monas dari jalan raya yang mengelilinginya adalah: pagar, taman dengan pohon-pohon rimbun, paving blok, taman bunga, pagar lagi, baru kemudian pelataran monumen. Jalan masuk ke pelataran cuma ada di satu sisi yaitu sisi sebelah utara, itu juga harus lewat terowongan bawah tanah yang pintunya ada di taman sebelah utara. Pada saat melihat kilatan itu, kami sedang berteduh di sisi timur, jadi kami harus memutari lagi seperempat bundaran Monas. Tapi teman saya mulai kegerahan dan dia mulai tidak sabaran, menyarankan untuk mengambil sikap try it or leave it, cek ke pelataran atau pulang saja. Saya yang merasa kasihan melihatnya langsung mengiyakan.

Semakin dekat ke sisi utara, semakin jelas bahwa memang itulah yang kami cari. Orang-orang berbaju merah mengerumuni benda logam setinggi satu meter yang memantulkan cahaya matahari. Kami segera berbegas ke pintu masuk terowongan. Untungnya saya mengantongi beberapa lembar uang karena untuk masuk ke pelataran harus membayar tiket masuk. Kami setengah berlari melintasi terowongan melewati orang-orang yang berjalan santai atau sekedar berteduh. Dalam hati saya berkata, hei di atas ada trofi liga inggris, kapan lagi kalian bisa melihatnya secara langsung?
Keluar dari terowongan kami sampai di pelataran yang sedikit teduh karena terlindungi cawan Monas, disitulah trofi itu diletakkan begitu saja, dijaga seorang petugas official dari klub. Beberapa orang sudah berfoto bersama trofi itu. Selain itu juga ada dua mantan pemain klub yang ikut dalam tur sehingga beberapa orang lagi sibuk berfoto dengan mereka. Saya sempat tercengang sebentar melihat itu semua, sedikit tidak percaya bisa melihat semua ini langsung di depan mata.

Ronnie Johnsen
Trofi itu berkali-kali dimenangkan klub jagoan saya dan berkali-kali pula saya lihat di televisi. Kedua pemain legenda itu memang tidak pernah saya tonton di pertandingan lewat televisi karena masa mereka bermain di klub yaitu di tahun-tahun saya masih SMP dan SMA, saat itu siaran langsung liga inggris di televisi masih sangat jarang. Paling saya melihat aksi-aksi mereka di video rekaman pertandingan, tapi saya sangat mengenal mereka karena sering saya gunakan karakternya di video game.
Ronnie Johnsen dan Quintone Fortune. Ronnie Johnsen adalah salah satu pemain dari tim legendaris klub yang berhasil memenangkan trebel winner, tiga trofi besar sekaligus dalam satu musim. Dia adalah pemain bertahan yang kuat sehingga David Beckham dan pemain depan lainnya bisa fokus menyerang. Sementara Fortune sendiri adalah pemain tengah tetapi bergabung dengan klub beberapa tahun setelah musim hebat itu. Fortune bermain di masa Wayne Rooney dan Cristiano Ronaldo masih anak muda tanggung yang baru masuk ke klub.

Teman saya menyadarkan dari perasaan terkesima itu dan langsung menyuruh antri untuk berfoto bersama. Karena yang antri di trofi sedang ramai maka saya berfoto dengan Fortune dulu. Sebagai duta klub tentu mereka dengan senang hati melayani setiap fans yang mau foto bareng. Masih setengah terkesima saya pun berdiri disampingnya yang terus tersenyum walaupun mungkin tersiksa panasnya cuaca negara khatulistiwa, terbukti dari kaos yang dikenakannya basah oleh keringat (tidak, saya tidak memperhatikan dengan detail kok, hanya prihatin). Setelah itu saya melihat Johnsen sendiri sedang mendinginkan badan di ruang dalam Monas, jadi saya memilih antri di trofi dulu. Trofi ini, yang diangkat Carrick, Giggs, Ferdinand pada musim sebelumnya, sekarang di depan mata! Trofi yang sudah 13 kali dimenangkan Sir Alex Fergusson! Saking gembiranya saya sampai gemetar saat berfoto di sampingnya. Dan baru sekarang saya menyesal kenapa saat itu tidak terlalu memperhatikan detail trofi itu, sampai sekarang saya penasaran bagian atasnya sebenarnya berlubang atau tidak.
Setelah itu saya kembali mendekati Johnsen yang sudah keluar ke pelataran lagi dan mengobrol dengan petugas official klub lainnya. Karena sedang mengobrol jadi tidak ada yang mengambil gambar langsung dengannya, jadi saya menunggu sebentar kemudian memberanikan diri menyapanya, "Ronnie! Can i take &%^$*^". Saya tidak tau lagi kata-kata apa yang keluar, mulut saya gemetaran karena entah sejak kapan, ini pertama kalinya saya menyapa bule langsung. Waktu kerja di bagian internasional memang sering saya mengobrol dengan bule, bahkan kadang harus menjelaskan banyak hal, tapi itu lewat telepon, sementara ini saya menyapa langsung dan bulenya sendiri adalah legenda klub! Juga sambil tersenyum ramah dia langsung berdiri di samping saya dan berpose di depan kamera.

Saat itu hanya ada sekitar dua puluhan orang yang datang kesitu. Entah karena informasinya yang kurang menyebar, atau karena faktor hari itu adalah hari dan jam kerja. Padahal setiap ada acara tidak resmi saja pasti ramai, apalagi ini acara resmi dari klub. Tapi itu juga saya syukuri karena tidak perlu berdesakan sudah bisa berfoto dengan puas. Teman saya, yang memang tidak terlalu fanatik sepakbola, malah sempat ingin foto sama petugas official klub yang seorang wanita, tapi ditolak (saya juga pengen sih kalau saja si official mau). Sepertinya jam si official sudah menunjukkan pukul 12.00 karena dia mulai meminta kami untuk berhenti foto-foto dan berbaris bersama Johnsen dan Fortune untuk foto terakhir yang akan ditampilkan di web resmi klub. Setelah itu official satunya lagi kembali memasukkan trofi ke tasnya (ternyata ada tas khususnya) dan mereka pun berangkat untuk menuju ke mall mewah tempat trofi dipamerkan berikutnya. Saya berharap di sana lebih ramai karena jadwalnya lebih lama, sampai sore hari, sehingga pihak klub akan mempertimbangkan untuk mengadakan acara resmi lagi disini.

Saya pun mengajak teman untuk kembali ke kantor. Kali ini kami menyeberangi kembali padang paving blok tapi panasnya tidak terasa lagi. Sejuk. Dengan senyum yang tidak pernah berhenti, saya berharap segera sampai di kantor agar bisa memamerkan foto-foto tadi ke social media. Kemudian melapor ke senior, ikut malas-malasan kerja sambil pasang muka zombie, dan bengong lagi menunggu mbak-mbak cantik ruangan sebelah melintas.

0 komentar:

Posting Komentar

My 99designs Folio

Check out 99designs for Logo Design